Apa Ini Waktu Yang Tepat Untuk Kita Bersedih Dan Menangis?
Indonesia negeri yang indah, di Twitter orangnya lucu-lucu, dramanya juga banyak. Tapi… ketimbang riang, ada lebih banyak buat orang Indonesia untuk sedih dan nangis.
Kalau kamu bertanya-tanya kenapa konten-konten kesedihan belakangan ini laris manis di media sosial, ada baiknya kamu duduk dan meneruskan membaca artikel ini.
Pertanyaan sebaliknya justru melintas di kepala saya: Kenapa juga orang-orang harus nggak merasa sedih? Kenapa orang-orang harus terlihat bahagia dan—ayolah—bagaimana bisa mereka tertawa-tawa lagi???
Sudahlah, jangan pura-pura nggak ngerti. Dunia ini kejam, akui saja. Nggak usah berpura-pura tangguh sambil ngedengerin lagu “Manusia Kuat”-nya Tulus berkali-kali. Nggak usah pura-pura baik-baik saja, lalu pasang Instagram Story dengan wajah super ceria.
Nggak apa-apa kalau kamu hari ini masih mau menangis karena patah hatimu dua tahun yang lalu. Nggak apa-apa juga kalau kamu mau marah gara-gara nggak merasa dihargai di lingkungan kerjamu.
Itu baru masalah personal. Menjadi orang Indonesia, belakangan ini, kayaknya memang bikin stressful.
Saya pulang ke Cilacap minggu lalu dan menemukan kabar bahwa ada isu (yang kemudian disebut hoaks) beredar soal gempa dan tsunami.
Tapi, dikutip dari BBC, Pakar Tsunami Badan Pengkajian Penerapan Teknologi (BPPT), Widjo Kongko, menyebutkan bahwa gempa memang akan terjadi pada daerah subduksi atau pertemuan lempeng-lempeng. Di Selatan Jawa seperti Cilacap, pertemuan lempeng yang dimaksud adalah Indo-Australia dan Eurasia.
Dengan kata lain, kemungkinan gempa—bahkan potensi tsunami—memang nyata adanya. Suka atau tidak suka, tanah tempat kita tinggal memang penuh dengan “kejutan”.
Ah, jangankan takut sama gempa—sama lingkungan sekitar saja harusnya kita sudah mulai khawatir.
Selain menjadi negara dengan sampah plastik terbanyak kedua, Indonesia juga punya problem terkait kualitas udara. Jakarta menjadi kota dengan polusi udara terburuk di dunia. Provinsi-provinsi lainnya tidak jauh lebih baik. Angka yang menunjukkan kualitas air dan udara di beberapa tempat di Indonesia nyatanya nggak terlalu jauh berbeda dengan Jakarta.
Seolah nggak membantu meringankan beban pikiran, kajian resmi pemerintah telah memperkirakan bahwa Pulau Jawa bakal kehabisan air di tahun 2040, bahkan untuk sekadar makan dan minum. Wacana ini bahkan disebut-sebut sebagai salah satu alasan rencana pindahnya ibu kota ke Kalimantan.
Selagi kita mulai sedih dan ketakutan membayangkan harus minum dengan cara tayamum, ingatlah satu hal: di jajaran pejabat-pejabat pemerintahan sana, masih berlangsung saja tarik ulur kemelut pengganti Sandiaga Uno sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta.
Para penduduknya sendiri nggak kalah membuat sedih bagi kita menjadi orang Indonesia. Konon, jumlah penduduk tua di Indonesia kini jumlahnya sudah separuh dari keseluruhan warga negara. Ini, sih, oke-oke saja kalau lansianya produktif—lah kalau nggak?
Dikutip dari Jamkes.com, Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Surya Chandra Surapaty, menyebutkan bahwa penduduk tua yang sakit-sakitan, tidak tangguh, dan tidak produktif akan menjadi beban negara, apalagi karena mereka rawan terkena penyakit degeneratif dan kronis.
Yang menyedihkan dari pernyataan di atas sebenarnya ada dua: selain penduduk tua menjadi beban negara, rasanya menyedihkan juga mengetahui bahwa penduduk-penduduk tua ini dianggap benar-benar sebagai beban negara. Iya, kan?
Saking ribetnya permasalahan negara selagi menjadi orang Indonesia, beberapa penduduk bahkan diketahui ikutan mendaftar jadi warga negara Asgardia—konsep negara di luar angkasa. Tercatat, lima ribu orang Indonesia resmi mendaftar untuk pindah ke Asgardia.
Tapi, saya yakin, walaupun saya bilang ini adalah waktu yang tepat untuk menangis menjadi orang Indonesia, pasti ada saja orang yang bakal menutup tab artikel ini sambil mencetin jerawat seperti biasa, sebelum kembali gegoleran di kasur.
Yah, mau gimana lagi? Pantas saja Indonesia diklaim jadi negara paling santuy sedunia.
Post a Comment
Post a Comment